Hikayat
Paul Cumming [Bagian 1]
Kisah
Sedih dari Lereng Semeru
Rumahnya
agak menjorok ke dalam Dusun Drigu, Desa Poncokusumo Kabupaten Malang, Jawa
Timur. Lokasi rumahnya terpencil dari peradaban manusia lainnya. Sunyi dan
sepi.
Sesekali
terdengar suara hiruk pikuk manusia dan lalu lalang kendaraan bermotor. Tetapi
semua itu tenggelam dalam orkestra kodok dan jangkrik yang lebih kentara
terdengar di luar.
Rumah
sederhana itu sekelilingnya dipenuhi kebun yang rimbun: kebun apel, cabai,
tomat, dan sayur-sayuran yang dipagari kawat dan kayu. Hanya ada satu jalan
untuk mencapai rumah itu, melewati jalan tanah coklat setapak yang jarang
diinjak manusia.
Bagi
beberapa orang tempat ini membosankan, apalagi kalau malam. Di luar nyaris
gelap gulita tak ada kerlap-kerlip lampu-lampu bohlam tetangga. Tapi jangan
kaget bukan main alangkah indahnya suasana alam di pagi hari. Tepat di depan
rumah, dengan sombong gunung Semeru kokoh tegak menantang.
Desa
Poncokusumo memang daerah dingin di lereng Gunung Semeru, 30 Km dari Kota
Malang. Udara bersih dan sejuk didapat secara gratis sepuasnya. Sesuatu hal
yang langka bagi orang kota.
Beruntunglah
Paul Cumming dapat menghabiskan massa tuanya di tempat itu. Tapi benarkah dia
beruntung?
Ada yang
masih ingat dengan Paul Cumming? Seseorang yang menjadi idola suporter klub
Galatama asal Jakarta yaitu Indonesia Muda di tahun 1981 hingga 1983. Beberapa
mengenangnya sebagai sosok pelatih asing kontroversial yang amat dicintai
masyarakat Papua, namun dibenci suporter bola asal Jawa di pertengahan dekade
80an.
Permainan
keras yang menjadi ciri khas Perseman Manokwari kala itu membuat anak asuh Paul
dicaci habis-habisan baik oleh pengamat, media maupun penggila bola. Bergeming,
Paul tetap melanggeng dengan polanya yang terkenal keras -- PSMS Medan pun
bukan tandingannya.
Benar saja,
usai menjadi juara Divisi I tahun 1983, Perseman menjadi kuda hitam baru di
kompetisi perserikatan dengan menjadi tim terbaik nomor empat di tahun 1985,
serta runner-up 1986 sebelum ditaklukan Persib Bandung 1-0 lewat gol tunggal
Djadjang Nurdjaman di partai Grand Final.
Paul adalah
pula legenda bagi masyarakat Bandar Lampung. Namanya melegenda tapi dia bukan
tokoh fiksi. Paul adalah manusia nyata. Kesuksesannya menangani klub Papua
membuat ia ditarik mantan gubernur Lampung, Poedjono Pranoto, untuk membesut
PSBL Bandar Lampung. Sepakbola Lampung pun menuai kejayaan. Setelah selalu
berkutat di Divisi II, Paul bisa membawa PSBL promosi ke Divisi I dan Divisi
Utama. Pekerjaan yang tak mudah tentunya.
Usai
dipensiunkan secara paksa dari PSBL akibat keuangan klub yang defisit, Paul
terpaksa menganggur. Beruntung kemudian Perseman mengontaknya kembali. Sampai
tahun 2011, Paul kembali menetap di Papua sembari sempat melatih tim PON Papua
Barat dan Persiwon Wondama.
***
Di
Indonesia, Paul adalah orang kedua yang dinaturalisasi akibat urusan sepakbola.
Orang asing pertama yang menjadi WNI gara-gara sepakbola adalah Toni Pogacnik,
eks Pelatih Timnas tahun 1950an. Dan orang kedua itu adalah Paul Cumming,
seorang Londoners yang teramat cinta kepada Negeri Zamrud Khatulistiwa.
Di masa itu
sangat langka pesepakbola atau pelatih asing yang ingin berganti
kewarganegaraan menjadi WNI. Paul termasuk orang langka itu. Prosesnya tidak
mudah dan berbelit-belit. Selain memakan waktu lama, besarnya kontribusi
terhadap sepakbola Indonesia pun menjadi kewajiban utama lainnya bagi siapa pun
yang ingin jadi WNI.
Proses Paul
menjadi WNI tidaklah semudah yang diterima Sergio Van Dijk, Kim Jefrey
Kurniawan atau pemain asing naturalisasi lainnya. Setelah menunggu waktu 19
tahun, pasca kedatangannya pertama kali ke Indonesia tahun 1980, akhirnya pada
10 November 1999, Pengadilan Negeri Bandar Lampung mengetok sah dirinya sebagai
WNI. Beruntung nasib Paul tak setragis sang pendahulu Toni Pogacnik yang keburu
meninggal sebelum dirinya disahkan sebagai WNI.
Paul adalah
generasi awal pelatih asing yang berani membesut klub-klub sepakbola di
Indonesia. Dia seangkatan bersama Marek Janota, Wiel Coerver dan Fred Corba.
Mereka menjadi bagian dari kebangkitan kompetisi Galatama. Mereka pun jadi
saksi, betapa Galatama porak-poranda akibat pengaturan skor ulah mafia judi
bola.
Pengalaman
pahit saat Berniaga di Pedalaman dan Pesisir Papua
Entah
mengapa dia betah berlama-lama di Indonesia, toh secara financial kehidupan
Paul biasa-biasa saja. Selama ini selalu ada persepsi bahwa orang asing yang
tinggal di Indonesia adalah kaum borjuis berdompet tebal. Paul jauh dari
anggapan seperti itu. Dia mungkin "pebola naturalisasi" paling malang
di Indonesia. Dari dulu hingga sekarang, dompet cekak selalu ia rasakan.
Hidupnya
selama Papua di awal tahun 1990an terkadang butuh perjuangan ekstra dan
menderita. Untuk tetap bisa bertahan hidup, ia tinggal di daerah pedalaman dan
berdagang sembako menggunakan perahu dari pulau ke pulau di Teluk Cendrawasih.
Sialnya,
usahanya itu kena tipu orang. Karena terlalu percaya, ia serahkan semua
perniagaan kepada anak buahnya. Sang anak buah berdusta mengatakan kepada
dirinya kapal terbalik dan barang dagangan habis tercebur ke laut. Ia pun
dinyatakan bangkrut total, karena harus membayari barang-barang jualannya yang
belum dibayar. Tapi ia tak menyerah dan kembali meniti usaha perniagaan
berjualan sembako ke daerah tambang-tambang.
Akan terasa
"ngeh" melihat bule di pedalaman Papua untuk menyambung perut ia
harus menaiki motor trail dengan barang bawaan sembako penuh. "Jalannya
menanjak bukan main, untuk menempuh tambang saya harus berkendara 8 jam
melewati hutan sembari bawa barang-barang digendong di belakang," ucapnya.
Baru
beberapa bulan usahanya berjalan, Paul kembali terkena sial. Lagi-lagi ia kena
tipu akibat bujuk rayu oknum warga yang meminta ia meninggalkan barang
dagangannya di tambang. Ia pun hanya mengelus dada meratapi nasibnya itu.
Dan itu
hanyalah satu dari belasan kisah tragis Paul yang akan terus berlanjut sampai
hari ini.
=====================================================================
Hikayat
Paul Cumming (Bagian 2)
Kisah-Kisah
Sukses yang Dibalas Air Tuba
Usai
terkatung-katung selama tinggal di Papua, Paul Cumming akhirnya menemukan
tempat berkarier baru. Adalah Tony Betay yang membawanya untuk menangani PSBL
Bandar Lampung. Gubernur Lampung saat itu, Poedjono Pranyoto, yang memimpin
Lampung selama 2 periode (1988-1993 dan 1993-1998) meminta Paul mengembangkan
sepakbola di Lampung.
Paul dan
Poedjono bukan kali itu baru saling kenal. Saat Paul membesut Perseman
Manokwari, kebetulan waktu itu Poedjono menjabat sebagai wakil gubernur Irian
Jaya. Di situlah awal perkenalan keduanya. Poedjono sedikit banyak mengerti
bagaimana Paul mampu membangkitkan kesebelasan semenjana seperti Perseman.
Untuk itulah, guna menghidupkan kembali PSBL, Paul diminta bekerja di Lampung.
Karenanya,
selama tujuh tahun Paul membesut PSBL (1991-1998). Di saat prestasi PSBL
mencapai titik puncak dengan mampu lolos ke babak 4 Besar Liga Indonesia di
Senayan, krisis politik menimpa Indonesia dengan lengsernya rezim Orde Baru.
Kerusuhan di Jakarta membuat kompetisi ditunda, tim yang sudah menginap di
Jakarta pun terpaksa kembali pulang.
Selang
beberapa bulan kemudian, efek domino krisis ekonomi nasional mulai berimbas
pada klub. Demi alasan penghematan, Paul terpaksa dipensiunkan. Tahun 1998,
usai pemecatan itu, ia pun kembali berjuang melawan tekanan ekonomi dan beralih
haluan membuka usaha penyewaan perahu di Pantai Ringgung, Lampung Selatan.
Tragedi
lain dalam kehidupan Paul pun kembali mengintai….
Perahu,
kios kecil dan bulan-bulanan preman
Ia
mempunyai 12 perahu atau sampan yang biasa disewakan kepada nelayan atau
wisatawan. Tarif yang ia patok berkisar Rp10.000 – Rp 15.000 per hari. Ia juga
memilki kios kecil di pinggir pantai. Dengan cekatan ia akan membuat kopi atau
mie rebus bagi wisatawan yang memesan. Sayang, usahanya itu tidak berjalan
memuaskan.
Selain
sepi, ia pun kerap dipalak preman-preman. Dana setoran sewaan dan keutungan
warung terpaksa ia serahkan kepada preman-preman. Terkadang ia sembunyi di
kebun atau hutan selama berjam-jam, menunggu preman yang tak lelah
mengganggunya itu pergi dari kiosnya.
Jika tak
setor, Paul terus menerus diteror dan diganggu. Sebagai seorang pecinta hewan,
banyak piaran ia punya mulai dari monyet, anjing, burung, domba hingga kucing.
Tragisnya, hewan piarannya satu per satu mati diracun orang. Seekor domba
jantan langka yang doyan makan kabel dan pernah membuat Lampung geger karena
kebiasaannya itu pun mati diracun orang yang konon tak suka padanya.
Kriminalisasi
memang sudah menjadi bagian dari hidup Paul. Bukan sekali dua perahunya dirusak
dan dicuri orang. Sudah 12 kali perahunya hilang dan rumahnya kecurian. Entah
siapa pelakunya.
"Saya
juga heran, saya sangat dikenal di Lampung tapi kenapa mereka memperlakukan
saya seperti ini?" keluhnya.
Petaka
ditusuk preman
Puncak
kesialan Paul terjadi 27 Juli 2001. Ketika itu dia berkunjung ke toko sembako
'Senang' di Bandar Lampung untuk membeli bahan pokok yang akan ia jual di
pondok kecilnya. Kebetulan di toko itu ada 15 preman bersenjata samurai, golok
dan pisau sedang memalak pemilik toko.
Tanpa sebab
alasan, seseorang dari mereka mengejar Paul. Enam tusukan pisau ditancapkan ke
punggungnya. Dengan luka berceceran Paul berusaha kabur dan langsung melapor ke
kantor polisi. Bukan pertolongan yang ia dapat, pihakaparat malah memintanya
terlebih dahulu membuat laporan bertele-tele, padahal kondisinya saat itu
berlumuran darah. Sebuah kisah klasik polisi di Indonesia.
Beberapa
lama kemudian, sang pelaku bernama Beny ditangkap. Belum lama luka tusukan itu
terasa, keluarga Beny dan rekan-rekan premannya mendatangi Paul. Di bawah tekanan
dan ancaman, secara terpaksa Paul memaafkan Beny dengan menandatangi surat
damai di Polres Bandar Lampung. Alhasil hukuman Beny pun sangat ringan.
"Waktu
itu di pengadilan sedang ada dua kasus persidangan, kasus penusukan saya dan
kasus yang maling ayam. Yang kasus saya, Beny hanya dijatuhi hukuman 6 bulan,
sedangkan yang maling ayam hukuman penjara 2 tahun," tuturnya sembari
tersenyum.
Kepedihan
selanjutnya
Tak tahan
dengan situasi itu, akhir tahun 2001 Paul pergi ke Nabire, Papua. Saat di Papua
ia memang memiliki rumah di sana. Alangkah kagetnya saat kembali ke Nabire tak
ada yang tersisa dari rumah itu. Semua perabotan barang yang ia kumpulkan
semasa berjuang mati-matian naik turun gunung, berlayar dari satu pulau ke
pulau lain nyaris tak ada sisa. Tinggal atap dan tembok saja. Semua harta sudah
ludes, apa yang ia miliki di Lampung sudah dijual demi merenovasi rumah di
Nabire.
Tahun 2002,
Perseman Manokwari kembali mengaetnya. Gajinya teramat kecil. "Tak apa
kecil, yang penting ada uang buat makan," katanya. Sayang, lagi-lagi karir
Paul tak lama. Semusim kemudian, dia tak lagi dipekerjakan Perseman.
Usai
diberhentikan oleh Perseman 2003, kembali hidupnya menderita. Di tahun itu ia
sempat sakit malaria, tak punya uang untuk ke dokter Paul pun merana di pondok
kecilnya. Ia memang tinggal sendirian dan jauh dari keramaian, Sejak tinggal di
Lampung ia memang senang menyendiri. Saat tingga di Nabire, tetangga
terdekatnya paling banter 1 km. Dalam kondisi sakit malaria dan terasing,
beruntung seseorang pengusaha Julius Permadi menjemputnya dan merawatnya hingga
sembuh.
Setelah
sehat, di tahun 2004, ia memutuskan sementara waktu untuk ikut sang Istri yang
menjadi guru di Malang terlebih waktu itu Nabire dilanda gempa hebat, ia pun
mengungsi. Tak menganggur lama, Paul diajak untuk melatih tim futsal
Universitas Airlangga di Surabaya tahun 2005. Feedback yang dapatkan sangatlah
kecil, Sebuah tempat tinggal dan Gaji bulanan 1 juta per bulan. "Tak ada
pemasukan lain, semuanya diirit-irit," ungkapnya.
Setahun
kemudian, PSBL kembali memanggilnya, ia pun kembali ke Lampung. Paul kali itu
dijadikan alat politikus oleh calon yang hendak ingin maju jadi walikota Bandar
Lampung. Jadi kendaaran politikus memang tak mengenakan. Setahun melatih PSBL
ia sama sekali tak dibayar. Ada hikmah di balik musibah, Dewi fortuna
mendatanginya, panggilan datang dari Bupati Teluk Wondama Papua Barat. Ia
diminta mengembangkan sepakbola di kabupaten baru yang hanya berpenduduk 12.000
keluarga itu.
Diberi
kepercayaan, semua hal ia curahkan. Mulai dari mendesain kostum, membelikan
sepatu pemain, mengumpulkan suporter, hingga membenahi manajemen klub. "Di
sana itu masyarakatnya tak begitu suka bola, tak ada pemain bagus dan lapangan
yang layak," tuturnya.
Apa yang
dilakukan membuahkan hasil, Persiwon yang biasa berkutat di Divisi III lolos ke
tahapan selanjutnya. Berkat tangan dinginnya juga nama Patrich Wangai berhasil
ditemukan. Bersama dengan Paul, Patrich berhasil membuat Persiwon lolos ke
Divisi II, setahun berikutnya ke Divisi I. Tahun 2008, ia diminta untuk
membesut tim PON Papua Barat di ajang PON Kaltim.
Tak
mengecewakan, anak asuhnya bermain bagus. Sang juara Jawa Timur digebuk 2-0.
Hanya saja, permainan kotor yang dilakukan DKI Jakarta membuat timnya kalah
2-0. Alhasil di laga penentuan, Jatim dan DKI bermain mata. Hasil imbang di
antara keduanya cukup untuk membuat Papua Barat terhenti di babak 6 besar.
Air
susu dibalas air tuba
Usai
gelaran PON berakhir, ia kembali ke Persiwon, sampai petaka tersebut terjadi.
Gonjang-ganjing kepengurusan PSSI di Jakarta tahun 2010 membuat perjalanan
kompetisi jadi tak menentu. Usai menjalani kompetisi divisi I di Banyuwangi,
agar tak bolak-balik Papua-Jawa dan menghemat ongkos, tim melakukan latihan di
Malang. Bulan demi bulan berlalu, sejak Desember 2010 hingga Agustus 2011 tim
tetap kompak rutin latihan.
Hanya saja
di penghujung bulan Agustus kabar tak enak itu tiba juga. Secara sepihak
manajemen klub Persiwon memecat Paul. Kerugian finansial yang ia dapat tidaklah
sedikit, selain gaji yang tak dibayar selama 10 bulan ia pun harus menalangi
biaya akomodasi tim selama berbulan-bulan latihan di Malang.
"Uang
saya tak diganti, mau gimana lagi. Kerugian saya mencapai puluhan juta. Uang
segitu bagi saya sangatlah berarti, itu uang hasil nabung bertahun-tahun,"
keluhnya.
Stresnya
kian bertambah setelah tahu untuk kedua kalinya, satu-satunya harta yaitu rumah
di Nabire, rata dengan tanah. Lebih parah lagi, semua isi perabotan rumah,
elektronik, parabola bahkan sampai kusen, pintu, jendela, dan atap aluminium
ludes dijarah orang “Di sana sekarang sudah rata dengan tanah, karena besi-besi
rangka pun dicuri membuat tembok jadi ambruk,” ucapnya dengan raut sedih.
====================================================================
Hikayat
Paul Cumming (Bagian 3)
Walau
Sakit, Terus Berusaha Lagi, Lagi dan Lagi
Usai
dipecat dan dirugikan secara sepihak oleh manajemen Persiwon Wondana, Paul
Cumming nyaris tak punya kegiatan, pekerjaan dan penghasilan. Rumahnya di
Lereng Semeru sejak 2011 pun bukan miliknya, melainkan investasi sang kakak,
Rosalind Cumming -- seorang pelukis yang cukup punya nama di Shrospire, satu
daerah di bagian barat Inggris.
Tragisnya,
saat proses membangun rumah itu, ia kembali dan lagi-lagi kena tipu. Harga
tanah yang seharusnya Rp 40 juta malah ia beli dengan Rp 160 juta, harga yang
mahal bagi sebuah tanah yang jauh dari keramaian di tengah desa. Tak hanya itu,
bangunan yang mestinya awet dan kuat, dalam beberapa bulan malah sudah
retak-retak.
Ia merasa
dijahili habis-habisan para pekerja tukang bangunan yang bekerja untuknya. Dana
Rp 400 juta yang ia keluarkan, tak sebanding dengan kondisi bangunan yang
ditaksir hanya sekitar sepertiganya. Pondasi bangunan dibangun tanpa komposisi
semen yang pas, arsitekturnya pun asal-asalan. Beberapa tembok malah miring.
Alhasil, penghasilannya yang tak seberapa itu ia habiskan untuk memperbaiki
rumah.
Tapi Paul
tak mau berdiam diri. Ia merasa malu juga hanya mengandalkan sang istri yang
banting tulang sebagai guru dengan gaji yang tak seberapa. Mustahil berpangku
tangan. Musykil untuk menyerah. Maka ia memutar otaknya untuk bertahan.
Karena itu,
dengan modal seadanya yang ia dapat dari sang kakak di London, pada bagian
belakang rumahnya ia membuka usaha rental Play Station. Banyaknya unit mencapai
7 mesin. Tarif yang ia patok Rp 2.000/jam. Seberapa menguntungkan sih bisnis
seperti ini? Ya "receh" saja. Per bulan ia hanya bisa meraup omzet
kotor kisaran Rp 600 ribu - 1 juta. Hasil itu harus dipotong dengan biaya
listrik dan gaji anak tetangga berusia 14 tahun yang membantunya menjaga
rental.
Anak itu
bernama Fikri. Saat ini dialah asisten Paul. Per hari ia dibayar Rp 15 ribu
untuk mengurusi rental PS dan membantu Paul. Omzet yang ia dapat setiap bulan
jarang masuk kantong pribadi, lebih sering untuk membayar listrik, gaji fikri
maupun servis stik PS yang sering rusak.
Berbagai
macam upaya ia lakukan untuk menambah uang. Meja foosball usang yang ia punya,
disewakan dengan harga seribu perak setengah jam. Banyak anak-anak yang pakai,
tapi seringnya dipakai tanpa bayar.
Di belakang
rumahnya, ia pun memiliki kolam renang sederhana, airnya diambil dari PAM Desa.
Untuk memenuhi kolam itu dengan air PAM Desa, Paul harus menunggu sampai 7 hari
7 malam.
Sebulan
kolam itu efektif dipakai paling hanya 20 hari, 3 hari sisanya dipakai Paul
seorang diri untuk menyikat dan mengurasnya. Maklum, air desa sering berlumut
dan berdaki. Untuk berenang di sana, ia mematok tiket Rp 1.000 sekali masuk.
Paul sebenarnya ingin menaikkan harga itu dari jadi Rp 2.000, tetapi ia merasa
berat.
Dalam suatu
adegan yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Paul mengutarakan
keinginannya itu kepada anak-anak yang mampir ke rumahnya. "Gimana kalau
dinaikkan jadi dua ribu, masih mau gak?" Tanya paul. "Gak Om,
mahal," jawab sang bocah.
"Tuh,
kan, lihat, mereka gak mau saya naikkan jadi dua ribu. Mereka pernah bilang ke
saya, jika dinaikkan dua ribu, mereka lebih memilih berenang di sungai daripada
di sini," ucapnya sembari mengangkat kedua tangannya.
Tahukah
anda penghasilan yang diterima Paul dari usaha kolam renang dan foosball-nya
itu? Hanya Rp 25 ribu/bulan yang masuk dompet.
Play
Station yang jadi sandaran hidup
Malam itu
waktu menunjukan pukul 21.00 WIB, di luar sudah sangat sepi, hanya terdengar
suara jangkrik. Mata Paul sayup-sayup tak kuat menahan rasa kantuk. Tapi ia
tampak gelisah tak karuan. Sebabnya, dua gerombolan remaja datang secara
bergantian untuk menyewa Play Station untuk dibawa pulang ke rumah. Tarif yang
dipatok Paul untuk menyewa seharian adalah Rp 20 ribu/hari.
Tetapi
malam itu Paul mencium gelagat tak mengenakan. Ciri-ciri pelanggannya itu sama
seperti berita di koran lokal belum lama ini, yang memberitakan beberapa anak
SMP yang di-drop out gara-gara ketangkap mencuri PS di Tumpang, 8 km dari
rumahnya.
Setelah
diusir secara halus, ia takut gerombolan itu kembali. Karenanya ia tak bisa
tidur. Play Station miliknya itu kini jadi jimat yang amat berharga baginya.
Kendati hasilnya tak seberapa, tapi mesin-mesin buatan Jepang itu adalah
penyambung hidup di masa senja. Ia tak ingin PS-nya kembali dicuri orang.
Sejak
memulai usaha, sebenarnya ia memiliki 10 buat Play Station, namun tiga bulan
lalu Paul kecurian, dua mesinnya raib dirampok maling. Yang lebih getir, yang
mencuri adalah anak kampung yang dipercayakan menjadi pembantunya menjaga
rental PS. Sedangkan satu mesinnya lagi disewa orang tapi tak pernah
dikembalikan hingga sekarang.
Tinggal di
Malang, Paul selalu bernasib malang. Sama seperti dulu, hidupnya tetap saja tak
lepas dari ditipu, dijahili dan dizalimi. Sering pelanggan rental PS nya kabur
dan tak bayar. Sering pula ia kena SMS teror dari warga sekitar. Propaganda
guru ngaji di kampung, sempat membuat usahanya nyaris gulung tikar.
"Guru
ngajinya pernah bilang ke anak- anak di sini, orang yang main PS tak akan masuk
surga. Gara-gara ucapan itu anak-anak kecil di sini takut dan gak mau main PS
lagi," katanya.
Kejahatan
dibalas dengan senyuman
Usaha lain
tak letih-letihnya dilakoni Paul untuk bertahan hidup. Ia pun sempat bertani
dengan menanam pohon jeruk di kebun belakang rumahnya. Ada 100 pohon, biaya
perawatannya mencapai 2 juta rupiah. Hasil panen yang didapatkan hanya 450
ribu. Sialnya lagi, Paul ditipu oleh petani lokal yang mem-blow-up biaya
perawatan menjadi berkali-kali lipat.
Kini pohon
jeruk itu masih tertanam di sana, dibiarkan tumbuh liar. Terkadang Paul kesal
jeruk-jeruknya yang tak terawat itu hilang dicuri orang.
"Kurang
ajar juga anak-anak itu, meskipun sudah dipagar tetap saja mereka
mencuri," geramnya.
Di dusun
itu terkadang Paul memang tak dihargai. Kerap diledek dan dibentak anak-anak
desa yang jadi pelangganya. Hanya saja semua itu dibalas kakek tua itu dengan
senyuman lebar yang jadi ciri khasnya. "Pelanggan adalah raja,"
tuturnya singkat.
Anak-anak
itu mungkin tak tahu siapa yang ada di depannya itu. Sesosok pelatih asing yang
lebih berjiwa nasionalis ketimbang orang Indonesia itu sendiri. Ia rela tinggal
di pedalaman hutan serta pesisir Papua dan Sumatra hanya untuk mengembangkan
sepakbola. Ironisnya, selama itu juga ia terkena penyakit malaria hingga 14
kali: 4 kali malaria tropika, 10 kali malaria tessiana.
Takut
melatih lagi karena penyakit
Sudah
menjadi tekadnya, Paul enggan melatih klub-klub besar di tanah jawa. Ia mengaku
lebih bersemangat membesarkan klub-klub kecil yang belum dikenal orang macam
Perseman Manokwari dan PSBL Bandar Lampung. Tawaran dari Persib Bandung dan
Persebaya pernah ditampiknya dengan alasan idealismenya itu.
Tapi kini
idealisme itu kini hanya jadi cerita. Toh ia enggan kembali menjadi pelatih
sepakbola. Oleh dokter ia diagnosa menderita penyakit spondilosis [sejenis
penyakit rematik yang menyerang tulang belakang].
"Dokter
bilang ke saya gak boleh terjatuh atau terpeleset, sekali itu terjadi saya gak
akan bangun lagi. Saya jadi kepikiran terus, saya jadi trauma untuk kembali
melatih sepakbola takut terpeleset saat latihan," ujarnya.
Tragis
memang. Saat ini ia pun menderita penyakit lain. Keningnya terluka dan terus
menerus mengeluarkan darah. Kondisi ini sudah terjadi setahun lamanya. Plester
dan perban selalu terpampang saat Paul berkaca. Darahnya memang sulit membeku,
tapi itu bukan penyakit gula. Entah apa nama penyakit itu dan sampai sekarang
luka ini tak sembuh karena Paul memang tak mampu ke dokter untuk memeriksanya.
Keuangannya yang pas-pasan jadi penyebabnya.
Untuk
berobat ke Kota Malang, setidaknya ia perlu biaya dokter yang mahal serta
ongkos Rp 250 ribu untuk menyewa mobil. Paul memang sudah tak kuat lagi naik
motor dan angkutan umum. Satu-satunya transportasi hanyalah menyewa mobil.
"Saya
tak punya uang untuk sewa mobil dan berobat, kalau ke Kota Malang saya harus
sewa mobil ke tetangga 250 ribu, saya gak kuat bayarnya," katanya sembari
mengerut.
===================================================================
Hikayat
Paul Cumming (Bagian 4-habis)
No
Country for Old Man
"Trims
banyak. 99,9% orang di Indonesia sangat baik dan ramah. Mungkin saya hanya
unlucky saja."
Kalimat di
atas diucapkan Paul Cumming -- lengkapnya Paul Anthony Cumming -- melalui akun
twitter-nya [@papuansoccer]. Kalimat itu merupakan jawaban terhadap mention
seseorang yang mengatakan dirinya baru sadar kenapa sepakbola Indonesia tidak
kunjung berprestasi setelah membaca feature tentang Paul yang saya tulis untuk
subkanal About the Game di detiksport ini.
Lihatlah,
dia bahkan tetap mengatakan sesuatu yang positif tentang negeri ini setelah
serangkaian pengalaman pahit berinteraksi dengan sepakbola dan orang-orang
Indonesia. Apa yang bisa kita katakan kepada orang seperti Paul ini? Orang yang
bodoh? Lugu? Naif? Entahlah.
Mungkin ini
yang disebut "cinta tanpa syarat". Lelaki kelahiran 8 Agustus 1947
ini memang mencintai Indonesia dengan segala keindahan dan kebrengsekannya.
Andai Paul
masih menjadi warga negara Inggris, di usianya yang sudah menginjak 66 tahun
ini dia akan bisa menikmati akhir pekan yang manis. Jika masih jadi warga
negara Inggris, dia bisa menikmati tunjangan masa tua dari pemerintah sebesar
50 poundsterling per minggu. Dengan nilai tukar sekarang, angka itu sekitar 3
juta rupiah per bulan. Jumlah itu belum ditambah dengan biaya transportasi dan
kesehatan yang gratis serta mendapatkan tunjangan khusus untuk biaya rumah.
Dan itu
semua bisa diperolehnya dengan cuma-cuma di masa tua, sebagaimana para pembayar
pajak lainnya jika sudah memasuki usia lanjut. Bandingkan dengan 650 ribu yang
diperolehnya dari usaha menyewakanplay station.
Dan yang
pasti, Paul bisa berjalan-jalan keliling London, menonton pertandingan Liga
Inggris secara langsung di stadion, atau sesekali pergi ke Anfield untuk
menonton kesebelasan Liverpool yang sangat dia sukai. Bukan seperti sekarang
yang hanya menonton Liverpool melawan Chelsea pada kompetisi game Winning
Eleven di ruangan 2 x 3 meter di belakang rumahnya.
Dia sendiri
bukannya tak ingin untuk sesekali pulang ke Inggris, sekadar menjumpai handai
taulannya yang masih hidup. Tapi nyaris mustahil dia pergi ke Inggris.
Jangankan untuk berangkat ke sana, untuk sekadar berbicara dengan saudara lewat
telepon pun Paul tak sanggup. Hingga hari ini, sudah hampir 38 tahun ia tak
kembali ke Inggris.
Ia pernah
dijanjikan tiket pulang saat menukangi PSBL Bandar Lampung. Hanya saja, tiket
kepulangan itu bukan tiket pulang pergi ke London, tapi pulang pergi ke Pantai
Ringgung, salah satu pantai di Lampung yang memang jadi kediamannya selama di
Lampung.
Satu-satunya
penyesalan untuk kegagalannya menengok Inggris adalah tak sempat lagi bertemu
ibundanya. Dia mengaku tak pernah menceritakan segala hal pahit yang ia alami
di Indonesia pada sang ibu. Paul cemas itu akan membuat ibunya sedih. Kepada
sang ibu, dia hanya mengisahkan cerita-cerita bagus tentang pengalamannya di
Indonesia.
Dan untuk
satu hal ini, untuk urusan dengan sang ibu, Paul tak tahan untuk tidak
meneteskan air mata. Saya melihat matanya berkaca-kaca ketika mengisahkan
bagaimana inginnya dia mengirimkan kado ulang tahun saat ibunya merayakan hari
kelahirannya yang ke-79. Paul sudah membeli taplak meja khas Indonesia untuk
ibunya. Tapi kado itu urung dia kirimkan. Harga pengiriman paketnya tak sanggup
dibayarnya. Sampai saat ibunya wafat pada 2011 silam, tak sekali pun Paul bisa
melihat ibunya lagi.
Apakah Paul
menyesal? Sama sekali tidak. Dengan nada yang mencoba meyakinkan saya, dia
mantap berkata: "Meskipun kondisi saya seperti ini, saya tak pernah
menyesal jadi WNI."
Jika pun
masih ada hasrat yang tersisa, dia masih memendam keinginan untuk menengok
kembali tanah kelahirannya, setidaknya satu kali saja, sebelum dia menutup mata
untuk selama-lamanya.
Saya
pribadi tak ada maksud jauh-jauh mendatangi Paul di Lereng Semeru untuk kembali
mengungkit-ngungkit kesedihannya itu. Tujuan saya mulanya untuk mangajaknya
berbicara dan mengenang sepakbola Indonesia di dekade 1980-1990an. Saya harap,
dengan berbincang bersama orang bule, kami bisa bicara-bicara secara lebih
terbuka.
Saya memang
mendapatkan cerita-cerita mengenai sepakbola Indonesia di masa lalu, tetapi
hanya sedikit. Saya lupa dengan tujuan saya -- terutama setelah melihat sendiri
berlangsungnya sebuah adegan tak lama setelah saya sampai di kediamannya.
Saat saya
masuk, ternyata di dalam ada tamu. Saya diam menyimak pembicaraan-pembicaraan
yang ada. Tamu tersebut ternyata sekretaris notaris yang menguruskan
administasi surat-surat tanah Paul. Perhatian saya mulai tertarik ketika
melihat respons serta gesture Paul saat mengetahui berapa nominal pajak yang
meski ia bayar.
"Dua
juta yah?" katanya sembari memijat-mijat keningnya. "Sekarang
sayangnya saya tidak punya uang. Nanti akhir bulan saya punya, tapi hanya 650
ribu dari hasil rental PS, bagaimana?" katanya lagi.
Saya
langsung mengabarkan apa yang saya alami pada editor saya di Bandung. Alhasil
misi pun berubah. Editor saya meminta untuk menggali kisah-kisah Paul dengan
lebih detil, bukan untuk menguak-nguak cerita sedih, tapi terutama untuk
memotret bagaimana seorang "perantau sepakbola" sepertinya punya daya
tahan yang luar biasa menghadapi deraan persoalan hidup yang seakan tiada
putus.
Kisah-kisah
sedih Paul memang bukan hal baru di telinga para penggemar sepakbola Indonesia.
Beberapa media besar seperti koran Tempo, Kompas, majalah Kartini dan
media-media lain, baik cetak maupun elektronik pernah mengangkat kisah
hidupnya.
Saat
kisahnya diangkat ke majalah Kartini tahun 2001 silam, banyak orang yang ingin
ingin menyalurkan bantuan dan meminta nomor rekeningnya. "Saya tolak
permintaan itu, saya bukan tipikal orang yang dengan mudah menerima bantuan
orang lain selama saya mampu berusaha," katanya.
Prinsipnya
itu dilakukan hingga sekarang, sedikit oleh-oleh yang saya berikan menjelang
kepulangan pun enggan ia terima. Setelah saya paksa dan "ancam" baru
ia mau menerimanya.
Dia punya
rasa hormat yang sangat tinggi terhadap dirinya sendiri, sama tingginya dengan
rasa hormat yang ia punya terhadap negeri ini dan orang-orangnya. Saya kira,
itulah sebabnya dia masih bisa mengatakan "99,9% orang Indonesia itu
sangat baik dan ramah, saya mungkin hanya unlucky saja".
**
Setelah
feature saya beredar di dunia maya, malamnya saya terkejut mendapatkan telepon
dari nomor tak dikenal. Setelah diangkat suaranya pun samar-samar tak jelas,
selain karena sinyal yang menjemukkan, intonasi dan logatnya pun aneh. Ternyata
dia Paul Cumming. Alamak, saya lupa menyimpan nomornya.
Dalam
perbincangan yang singkat itu, Paul berterima kasih dan senang dengan respons
masyarakat Indonesia terhadap dirinya. Saya sedikit tertawa ketika dia
mengeluhkan ada salah satu tulisan di kolom komentar yang bernada sinis
kepadanya. Tetapi ia tak marah. "Komentar semuanya bagus," katanya
dengan logat bahasa Inggris yang masih teramat kental.
Paul memang
masih bisa mengakses internet. Selama ini hanya akses internetlah yang
menghubungkan Paul ke dunia luar. Saling bertukar email dengan saudara dan
mantan rekan yang menggeluti dunia sepakbola. Internet itu diaksesnya lewat
laptop usang dan sebuah modem yang sinyalnya datangnya tidak bisa diduga-duga.
Kadang dapat, kadang tidak.
Laptop itu
ia beli 2010 silam semasa jadi Pelatih Persewon Wondama. Saya masih ingat debu
yang melekat di atas keyboard laptopnya itu tebalnya bukan main, menandakan
barang itu memang akhir-akhir ini jarang dipakai dan dibersihkan. Uang dari
rentalan PS selalu ia sisihkan untuk membeli pulsa modem yang dipakainya secara
selektif untuk menghemat pulsa.
Selain
laptop, kekayaan lain yang dimiliki Paul adalah gunungan kliping-kliping surat
kabar. Paul memang apik dalam menyimpan barang. Banyak artefak-artefak keren
yang saya temukan di sana, mulai dariteamsheet final Persib Bandung versus
Perseman Manokwari tahun 1986 hingga lampiran Match Day Programklub lokal
Inggris tahun 1903.
Khusus
kliping tentang dirinya sendiri ia menyimpan khusus. Entah mengapa,
kliping-kliping yang selalu memberitakan dirinya selalu menyedihkan dari
diminta deportasi oleh Solihin GP yang waktu itu menjabat Ketua Umum Persib
tahun 1985 [saat itu Persib bertemu Perseman di final Divisi Utama
Perserikatan] sampai penusukannya di Lampung 2001 silam.
Ada
pelajaran hidup yang saya dapat dari Malang. Paul mengajarkan ketegaran dan
kesabaran, ia bukan tipikal orang senang menyelesaikan masalah dengan kemarahan.
Beberapa kali saya tertawa geli saat ia menceritakan bagaimana mantan-mantan
asisten dan pemainnya bersikap yang membuat ia jengkel, mulai dari pengaturan
skor, mabuk-mabukan, melakukan tindak kriminal hingga menghamili anak orang.
Semua itu diceritakannya dengan jenaka tanpa ada dendam.
Humor
seringkali menyelamatkan seseorang dari derita yang sebenarnya tak
tertanggungkan. Paul tahu benar fungsi humor itu. Jika ada yang mengatakan
bahwa humor paling berkualitas adalah humor yang sanggup menertawakan diri
sendiri, Paul adalah masternya. Saat derita sudah tak lagi bisa ditolak, kenapa
tidak sekalian saja menertawakannya jika dengan itu kita bisa bertahan lebih
panjang -- setidaknya agar waras di kejiwaan?
Sepakbola
adalah hidup Paul Cumming. Dia terdampar di Indonesia karena sepakbola, dan dia
dikecewakan berkali-kali juga oleh sepakbola. Tapi sepakbola tak mungkin dia
lupakan. Sepakbola sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya.
Dia kini
tak bisa lagi melatih karena cedera tulang belakangnya membuatnya sangat
berhati-hati agar tidak terjatuh lagi. Jika dia terjatuh, dia terancam bahaya
yang bisa membuatnya sakit dan tak tersembuhkan, setidaknya demikian dokter
berkata padanya.
Agar tetap
terhubung dengan sepakbola, banyak cara dia lakukan. Membuka usaha rental play
station adalah salah satu upaya Paul untuk tak terputus dengan sepakbola. Suara
fiktif sorak-sorai penonton di game PS sepakbola akan selalu mengingatkannya
pada sepakbola, pada lapangan hijau, dan tentu saja pada kehidupannya sendiri.
Di masa
mudanya, semua uang saku yang ia punya bisa habis hanya untuk menonton
pertandingan di hari Sabtu. When saturday comes bukan parafrase yang klise bagi
Paul muda, itu parafrase sangat menyenangkan baginya.
Di masa
tuanya sekarang, dia beruntung mempunyai match day programme yang meng-cover
lebih dari 150 ribu pertandingan sepakbola sejak awal abad 20. Koleksinya itu
membuatnya bisa mengakses starting-line upribuan pertandingan, siapa yang cetak
gol, menit berapa terjadinya gol, dan data-data teknis pertandingan lainnya.
Jika anda
menelusuri ocehan Paul di twitter, beberapa hari lalu dia sempat merespons
kicauan seseorang yang berkicau tentang Keith Kayamba Gumps. Paul merespons
begini: "Saya punya matchday programmeantara St. Kitts & Nevis lawan
Oldham Athletic pada 24 Mei 1998. Keith Gumbs lahir 11/9/1972.
Bayangkanlah
seorang tua menikmati pertandingan sepakbola melalui lembar-lembar data
pertandingan, tanpa suara, tanpa gambar. Hanya teks-teks saja.
"Football
means everything to me. Saya tidak bisa hidup tanpa sepakbola," kata Paul
kepada saya melalui pesan pendek, tepat saat saya sedang menuliskan bagian
penutup tulisan ini.
Paul
memiliki mimpi lain, mimpi itu mungkin bisa saja terwujud di bulan Juli nanti.
Mimpi itu adalah bertemu tim idola: Liverpool.
Meskipun
tinggal di London, Paul amat mencintai Liverpool. Dia pernah hadir di
stadion-stadion elite di Inggris. Di masa mudanya awayday adalah hal yang lazim
saat ia mendukung tim lokal Hendon Aways, sebuah klub kecil di London.
Sayangnya di masa-masa itu ia tak pernah sama sekali menyaksikan Liverpool
berlaga secala langsung. Kendati begitu, kekagumannya pada Liverpool tetap
terjaga baik-baik dalam ingatan masa mudanya, juga dalam kenangan masa tuanya.
Paul ingin
sekali kembali ke Stadion Gelora Bung Karno saat Liverpool datang ke Indonesia
Juli nanti. Ia tak berharap untuk duduk di tribun kehormatan atau VIP sama
seperti saat dirinya bersama Adolf Kabo, Mathias Woof, Yohanes Sawor dll.
menuai kejayaan Perseman Manokwari di tahun 1985-1986.
Baginya
duduk di kursi termurah pun sudah sangat sangat bersyukur. Tapi ia sudah putus
asa, pesimis mimpinya tersebut tak akan terlaksana. "Keinginan pasti ada,
tapi dengan kondisi seperti ini, saya tak bisa. Tak punya uang. Saya nonton
dari televisi saja," lanjutnya sembari tersenyum, dengan bola mata yang
agak membesar memancarkan kejenakaan yang agak pahit.
Saat itu
juga saya kembali mengontak editor saya di Bandung. Lewat pesan pendek, saya
ceritakan mimpi Paul untuk menonton Liverpool. Kesal rasanya menyadari editor
saya tak segera membalas. Sampai balasan yang saya tunggu pun datang. Editor
saya membalas: "Ok, jangan khawatir. Sampaikan pada Paul, dia bisa pergi
ke GBK nonton Liverpool. Kita berangkat sama-sama ke Jakarta dari Bandung
nanti. Teknis kita atur kemudian."
Belakangan
saya tahu, kenapa editor saya lama membalas pesan saya. Rupanya, dia berdiskusi
dengan rekan kami lainnya, editor lain, perihal kemungkinan meminta Paul
menulis artikel secara rutin untuk Pandit Football. Menilik kecenderungan Paul
yang enggan merepotkan orang lain, memintanya menulis artikel adalah pilihan
yang sepertinya akan jadi opsi yang terhormat untuknya.
Saya segera
menyampaikan permintaan editor itu kepada Paul. Dia menyambut hangat permintaan
itu. Saya katakan padanya dia bisa menulis apa saja: pengalaman-pengalamannya,
tentang taktik sepakbola, tips-tips bermain bola atau soccer clinic, atau
esai-esai lepas yang bisa mengakomodasi pikiran-pikirannya tentang sepakbola.
Apapun itu.
Setelah
feature pertama tentang Paul itu tayang di subkanal About the Game ini, saya
menagih artikel pertama yang ditulisnya. Dia minta maaf karena belum bisa
menyelesaikan tulisan. Katanya: "Maaf, saya sudah 5 malam tidak tidur
gara-gara jaga play station. Saya coba besok kalau malam ini bisa tidur. Hehehe
…."
Saya merasa
bersalah dan sepertinya akan kesulitan menguatkan perasaan saya sendiri jika
harus menagih artikel kembali. Tapi tulisan "hehehe…" di belakang
permintaan maafnya itu menguatkan saya. Saya membayangkan, Paul mengatakan itu
tidak dengan wajah muram, tapi sembari tersenyum, dengan bola mata bulat yang
memancarkan cahaya terang yang menandakan dia masih hidup, akan tetap hidup,
setidaknya mencoba sekuatnya terus bertahan hidup!
You’ll
never walk alone, Paul!
====================================================================
Kena
Kanker, Paul Cumming Tetap Semangat Ingin Nonton Liverpool
Malang -
Masih ingat Paul Cumming? Mantan pelatih asal Inggris yang sudah puluhan tahun
menetap di Indonesia ini mendapat kabar tak mengenakkan karena divonis mengidap
kanker.
Meski
demikian, sebagai fans berat Liverpool, ia tetap antusias menunggu kesempatan
menonton langsung tim kesayangannya di Jakarta pada 20 Juli mendatang.
Detiksport
telah mengundang dan akan menjemput Cumming untuk ke Jakarta dan menyaksikan
langsung Liverpool di Gelora Bung Karno pada 20 Juli mendatang. Ia juga telah
mencetuskan keinginannya menonton di tribun yang sama dengan komunitas Big
Reds, karena ia adalah fans berat Liverpool.
"Walaupun
saya sejak kecil saya fans berat Liverpool, tapi karena ongkos dari London
terlalu tinggi, saya tidak sempat nonton di Anfield. Tapi saya pernah nonton
mereka main di Highbury, Stamford Bridge and White Hart Lane," kenang
Cumming.
"Pemain
favorit saya saat ini adalah Steven Gerrard. Tapi saya juga mengagumi Billy
Liddell, Alan A'Court, Ian St. John, Emlyn Hughes, John Toshak, Ray Clemence,
dan tentu saja Kenny Dalglish!"
Cumming,
eks pelatih sejumlah klub di tanah air seperti Perseman Manokwari dan PSBL
Lampung, saat ini tinggal di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk kota,
tepatnya di Dusun Drigu, Desa Poncokusumo Kabupaten Malang, di lereng Gunung
Semeru, Jawa Timur.
Walaupun
namanya terbilang masyhur untuk ukuran pelatih terutama di era 80 dan 90-an,
secara ekonomi Cumming tak beruntung. Sehari-harinya ia kini menyewakan Play
Station dengan tarif Rp 2.000 per jam. Kolam renang lawas di rumahnya pun
disewakan untuk anak-anak setempat, dengan harga Rp 1.000 sekalinyempung.
Fisiknya
pun cukup rentan. Cumming didiagnosa mengidap penyakit spondilosis, sejenis
penyakit rematik yang menyerang tulang belakang. Ia sangat diwanti-wanti supaya
tidak sampai jatuh, karena jika begitu akibatnya bisa sangat fatal.
Sejak setahun
lalu keningnya terluka dan terus menerus mengeluarkan darah. Plester dan perban
selalu terpampang saat Paul berkaca. Darahnya memang sulit membeku, tapi itu
bukan penyakit gula. Entah apa nama penyakit itu dan sampai sekarang luka ini
tak sembuh karena Paul memang tak mampu ke dokter untuk memeriksanya.
Keuangannya yang pas-pasan jadi penyebabnya.
Baru-baru
ini Cumming mengabarkan kepada detiksport bahwa dirinya divonis mengidap kanker
ganas di tiga bagian kulitnya.
"Dokter
menyarankan saya segera operasi. Tapi saya memang tidak ada biaya. Mungkin
nanti, kalau sudah ada uang. Lagi pula saya sudah kepingin sekali nonton
Liverpool. Kalau dioperasi sebelum ke Jakarta, nanti saya tidak bisa pakai topi
merah!" ujarnya melalui sambungan telepon.
Perihal
kondisi Cumming diiyakan oleh Timo Scheunemann, pelatih spesialis pembinaan
usia muda, yang dua hari lalu bersama keluarganya mengunjungi rumah Cumming.
"Dia
habis periksa ke rumah sakit di Malang, dan hasil biopsi-nya ada kanker ganas.
Saya sangat berempati untuk beliau. Jika ada yang ingin membantu meringankan
biaya operasinya, saya pikir itu hal yang bagus," ucap pria yang lebih
akrab dipanggil 'Coach Timo' itu kepada detiksport.
Bagi Anda
yang ingin memberi bantuan dana untuk biaya operasi Paul Cumming, bisa
mentransfer langsung kepada yang bersangkutan melalui Bank Mandiri dengan nomor
rekening 1440004593197 atas nama Paul Anthony Cumming.
Lagu The
Fields of Anfield Road sampai ia salin sendiri di sebuah buku kecil. Catatan
itu ia bawa ke Senayan ketika tim pujaannya, Liverpool FC, bermain di Stadion
Gelora Bung Karno akhir pekan lalu.
"Hari
ini adalah hari kebanggaan untuk saya. Nonton Liverpool di GBK adalah Dream
Come True. Salam untuk semua penggemar bola di Tanah Air,"demikian Paul
Cumming bertutur melalui akun twitter-nya, @papuansoccer, di hotel sebelum
berangkat ke stadion Sabtu (20/7/2013) siang.
Usianya
yang hampir 66 tahun, ditambah kondisinya yang kerap sakit dalam satu tahun
terakhir, termasuk kanker kulit kepala yang menyerangnya baru-baru ini, membuat
gerak-gerik Paul melambat, seperti juga intonasi suaranya yang rendah, sehingga
sesekali kami harus merapat untuk bisa mendengarnya lebih jelas.
Selama
mendampingi Paul, kami jarang mendapatinya tertawa dengan suara keras apalagi
sampai terbahak-bahak. Jika ada hal lucu, ia akan tersenyum lebar atau cukup
terkekeh-kekeh -- tapi itu sudah menunjukkan keceriaan di wajahnya.
"Saya
malu kalau tertawa lebar di depan orang banyak. Soalnya gigi sudah tak
ada," seloroh pelatih legendaris yang pernah melatih sejumlah tim
Indonesia selama hampir tiga dawasarwa itu.
Walaupun
suaranya rendah dan terlihat sebagai seorang lelaki tua yang pendiam, Paul
sesungguhnya memiliki selera humor yang mengasyikkan. Ia bisa tiba-tiba
menceletukkan sesuatu yang membuat kami "kaget" dan tertawa. Suatu
ketika, misalnya, ia cukup sibuk menerima panggilan via telepon selulernya.
Pada sebuah deringan berikutnya, Paul menerimanya sambil berdiri dan berucap,
"Halo? Steven Gerrard?"
Paul juga
tipikal "bapak-bapak yang kalau sudah bercerita susah dihentikan".
Sewaktu kami membawanya bersantap malam di sebuah restoran India di Jalan Jaksa
-- ia kepingin sekali bernostalgia ke tempat itu -- ia menghibur kami dengan
kisah-kisah hidupnya yang beraneka warna.
Sebelumnya,
pada Jumat siang ia kami ajak mengikuti acara Liverpool yang diadakan oleh
Standard Chartered di Plaza Senayan. Kepada dia kami menjelaskan, sesi itu
adalah penandatangan kontrak baru bank tersebut dengan The Reds. Ia lalu
menimpali, "Wah, saya terlambat kalau begitu. Tadinya saya berharap rental
Play Station saya bisa jadi sponsor Liverpool."
Paul, yang
pernah terkenal saat menangani Persiraja Banda Aceh, Perseman Manokwari, PSBL
Lampung dan tim PON Papua Barat, saat ini tinggal di Dusun Drigu, Poncokusuma,
Kabupaten Malang, dengan pemandangan Gunung Semeru yang gagah perkasa. Di
rumahnya yang sederhana, yang ia diami bersama sang istri, sehari-harinya ia
menyewakan Play Station untuk anak-anak di kampung, dengan tarif Rp 2.000 per
jam.
Ketika
detiksport mengundangnya menonton pertandingan Liverpool melawan timnas
Indonesia, ia tampak betul mempersiapkannya dengan antusias. Bahkan ia sudah
berbaju The Reds saat meninggalkan rumahnya menuju stasiun Malang, untuk
berangkat ke ibukota dengan kereta api. Di sana ia sempat dilepas oleh Big Reds
Malang, dan juga sang istri yang menyempatkan diri meninggalkan sejenak
tugasnya sebagai guru di sebuah SMA negeri di kota tersebut.
"Sampai
ketemu di Sektor 9-11. Saya nonton dengan teman2 di tribun @BIGREDS_IOLSC
YNWA," Paul melanjutkan tweet-nya di perjalanan menuju Senayan.
Mengenakan
satu-satunya jersey Liverpool yang ia bawa dari Malang, Paul berdandan seperti
suporter fanatik. Ia menutupi kepalanya dengan topi merah, serta membawa syal
dan bendera tim kesayangannya itu. Hujan yang menyambut kehadirannya kembali ke
GBK tak menyurutkan semangatnya untuk menyaksikan aksi Gerrard dkk.
Sesampainya
di GBK, banyak orang mengenali dirinya. Mereka silih berganti menyapa dan
meminta foto bareng, dan tidak satu pun ditolak Paul. Sejumlah fans remaja
mencium tangannya, layaknya "cucu kepada kakeknya". Mereka
mengucapkan doa-doa untuk kesehatan Paul.
Jam 5 sore
kami tiba di Gate V, di antara ratusan orang yang mulai mengular di depan pintu
masuk yang belum dibuka. BIG REDSsecara khusus menyediakan tempat untuk Paul,
tapi dia sendiri yang minta menonton bersama-sama suporter Liverpool, dan
bukannya memilih di tribun VIP.
Paul diberi
keistimewaan masuk lebih dulu dibanding ratusan fans di belakangnya, bersama
Alief Ryanda (20), seorang suporter "edan" yang mencoba ke Jakarta
dengan bersepeda motor dari Aceh, tapi mengalami kecelakaan di Labuhan Batu,
Sumatera Utara. Kakinya patah, tersenggol truk. Demi tim kecintaannya, Alief
tetap berangkat ke Jakarta, terbang dari Medan.
Setelah
melewati pintu masuk, Alief lebih dulu harus menaiki tangga yang cukup tinggi
menuju sektor penonton. Dibantu dua orang, ia bangkit dari kursi roda, meniti
anak tangga satu per satu. Para Big Reds di luar memberinya dukungan moral
dengan menyanyikan chant-chant untuk dirinya. Alief sempat terisak terharu
dengan dukungan luar biasa itu.
Itu pula
yang dilakukan Big Reds saat Paul perlahan-lahan menaiki tangga yang sama.
Mereka menggemakan koor "Paul, Paul, Paul", setiap kali dia
melangkahkan kakinya. Setelah anak tangga terakhir dijejaki, Paul membalikkan
badannya, melambaikan tangan kepada para suporter, yang kemudian riuh bertepuk
tangan. Mata Paul berkaca-kaca. "Belum pernah saya mendapatkan yang
seperti ini," ucapnya lirih.
Dan Paul
akhirnya dapat mewujudkan keinginannya menonton pertandingan Liverpool. Ia ada
di sana, di stadion utama negeri yang sangat ia cintai ini, di antara lautan
manusia beratribut merah, dalam atmosfer yang penuh sensasi, ketika chant-chant
dan lagu You'll Never Walk Alone tak henti-hentinya dikumandangkan suporter,
seakan-akan GBK adalah Anfield.
"Selagi
masih hidup, harus bisa nonton Liverpool. Dan akhirnya mimpi saya terwujud.
Walaupun tidak bisa bertemu pemain langsung, tapi saya bisa menyaksikan mereka
di Senayan. Saya sangat terharu. Terima kasih untuk semua yang telah memberikan
dukungan. Saya takkan pernah melupakan pengalaman yang luar biasa ini,"
ucap Paul kepada kami.
Meninggalkan
GBK malam itu, Paul masih saja dihampiri orang-orang yang ingin menyapa dan
berfoto bersama. Dan lagi-lagi, walaupun keletihan sudah melanda, ia tetap
melayani permintaan mereka dengan ramah.
Tak terasa,
kami baru sampai hotel lagi pukul 1 dinihari. Paul masih sempat menonton
televisi untuk mencari pemberitaan seputar pertandingan tadi. Ia sampai
tertidur di sofa, sebelum kami bangunkan supaya pindah ke tempat tidur.
Minggu (21/7)
siang Paul dijemput oleh Balafans, kelompok suporter Lampung , yang ingin
membawanya "pulang ke kampung halaman" -- Paul pernah tujuh tahun
tinggal di Lampung saat melatih PSBL (1991-1998).
Selain
dengan suporter, kerabat lamanya di Lampung dan media, Paul juga dipertemukan
dengan sejumlah pejabat teras setempat, termasuk Gubernur Sjachroedin ZP.
Selain bersilaturahmi, mereka juga memberikan bantuan materil untuk membantu
meringankan biaya operasi yang akan dijalani Paul sekembalinya ke Malang nanti.
"Tolong
detiksport sampaikan terima kasih saya kepada semua orang yang telah memberikan
dukungan, baik moral maupun materil kepada saya. Saya tidak menyangka, saya
terharu sekali membaca komentar dantweet mereka. Doakan pula semoga operasi
saya nanti berjalan lancar," ujar Paul tadi malam.
You'll
Never Walk Alone, Coach.
SOURCE: DETIKSPORT.COM
SOURCE: DETIKSPORT.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar