Anda bisa
menyebut banyak legenda Liverpool FC, dari Kevin Keegan, Kenny Dalglish, Ian
St. John, Ron Yeates, Ian Rush, Robbie Fowler, Steven Gerrard, atau bahkan
manajer sensasional yang menghadirkan 6 gelar liga dan 3 Piala Champions, Bob
Paisley. Tapi gelar orang suci bagi sisi merah Merseyside hanya milik satu
orang, Bill Shankly.
Tanggal 14
Desember 2009 tepat 50 tahun sejak Shankly pertama kali memegang jabatan
manajer Liverpool. Klub tersebut akan mengenang peristiwa tersebut dengan
mengadakan upacara peringatan sebelum menjamu Wigan Athletic esok hari. Tapi
posisi Liverpool yang hanya ketujuh di klasemen sementara tentu bukan sebuah bentuk
penghargaan yang baik bagi manajer yang menanamkan fondasi paling mendasar
sehingga klub tersebut menjadi salah satu klub terbesar di dunia.
Sebagai pemain,
Shankly lama bermain bagi Preston North End dan sempat menjadi manajer Carlisle
United, Grimsby United, Workington, dan Huddersfield sebelum hijrah ke kursi
bos di Anfield.
Saat pertama kali
datang ke Liverpool, kondisi yang
ditemui Shankly lebih dari parah. Liverpool berada di papan bawah divisi dua,
dengan stadion yang bobrok, sarana latihan yang buruk, dan para pemain yang
kurang mumpuni. Satu-satunya nilai lebih Liverpool adalah mereka memiliki staf
kepelatihan yang lumayan di tangan Joe Fagan, Reuben Bennett, dan seorang
mantan pemain yang baru beralih menjadi staf pelatih, Bob Paisley.
Fasilitas latihan
di Melwood, tempat latihan resmi Liverpool sangat memprihatinkan, bahkan
mungkin lebih buruk dari tempat latihan klub Liga Indonesia sekarang ini.
Rumput di Melwood panjang-panjang dan tumbuh liar akibat tidak pernah
dipangkas. Yang lebih parah, hanya ada satu saluran air yang bisa digunakan
oleh semua pemain untuk berbagai keperluan.
Shankly, seorang
yang dilahirkan dalam kelas pekerja dan seorang sosialis sejati seumur hidup,
tidak memandang buruknya Melwood sebagai masalah, malah ia mengubahnya menjadi
sumber kekuatan. Ia lalu mengatur agar semua pemain berkumpul di Anfield
sebelum latihan dan bersama-sama naik bus menuju Melwood.
Di Melwood, Shankly memperkenalkan metode diet
dan berbagai jenis latihan skill yang terhitung baru saat itu. Shankly
menggunakan jenis latihan lapangan kecil dengan lima pemain di masing-masing
tim, sebuah metode yang menggambarkan filosofi sepakbolanya – oper dan
bergerak, sesederhana mungkin, sebuah filosofinya yang didapatnya dari tim
sepakbola para pekerja tambang di Glenbuck.
Selepas latihan,
Shankly menginstruksikan para pemainnya agar mandi bersama dan makan bareng
sebelum naik bus kembali pulang ke Anfield. Terlihat bagaimana Shankly
benar-benar mengaplikasikan ideologi sosialisnya ke dalam sepakbola.
Dalam strategi
permainan pun tak jauh beda, kesatuan dan persatuan menjadi fondasi dasar
Liverpool FC di eranya. Jika seorang pemain bermain buruk dalam sebuah
pertandingan, gantinya memarahi, Shankly akan menyuruh pemain lain untuk
melapis dan membantunya seperti ”saat anda menolong seorang tetangga atau
seorang pekerja tambang yang terjatuh di kedalaman.”
Filosofi
sepakbola Shankly perlahan tapi pasti menunjukkan hasil. Hanya membutuhkan
waktu 2 setengah tahun, pada tahun 1962 Liverpool FC kembali ke divisi satu.
Target utama Shankly adalah mengembalikan supremasi kota Liverpool yang saat
itu dikuasai Everton. Pada tahun 1964, Shankly membawa Liverpool merebut gelar
juara Liga dengan mengalahkan Everton yang berstatus juara bertahan. Ini adalah
awal dari era legendaris yang disebut The Shankly Years.
Sepanjang karir
manajerialny a di Liverpool ia memberikan klub tersebut 3 gelar juara liga, dua
Piala FA, dan satu Piala UEFA. Deretan prestasi tersebut ditambah bagaimana ia
menarik Liverpool yang terjerembab di lumpur divisi dua menjadi klub juara liga
sebenarnya sudah cukup mematrikan nama Bill Shankly menjadi legenda. Tapi
kedekatannya dengan suporter, yang diwarnai dengan berbagai sikap simpatik yang
ditunjukkannya, membuat sosoknya tak pernah mati di Anfield hingga saat ini.
Seperti sudah
disebutkan, Shankly berasal dari kelas pekerja dan memahami dengan sangat
bagaimana para suporter memandang sepakbola tidak hanya sebagai tontonan, tapi
juga masalah hidup dan mati. Mayoritas penduduk Liverpool adalah kaum pekerja
dan buruh pabrik.
Shankly merasa
bahwa ia telah mengecewakan para suporter jika timnya tidak bermain dengan
baik. Jika sedang tidak melatih, maka Shankly akan menghabiskan waktu membalas
surat para penggemar yang masuk ke Melwood. Shankly bahkan kadang-kadang
mengundang beberapa suporter datang ke rumahnya untuk membahas pertandingan
sehari sebelumnya. Memberi tiket gratis kepada suporter bahkan telah menjadi
semacam ritual bagi Shankly, tak terhingga.
Satu peristiwa
legend aris menjadi contoh sempurna bagaimana Shankly menempatkan para suporter
di tempat yang terhormat. Saat ia dan para pemain sedang berlari mengitari
Anfield melakukan selebrasi kemenangan juara liga tahun 1973, seorang suporter
melemparkan selembar syal ke arah Shankly. Polisi segera bereaksi dan
menyingkirkan syal tersebut. Tapi Shankly mengambil syal tersebut, memakainya,
dan menghardik polisi dengan kalimat yang membuat seluruh Merseyside merinding,
“Jangan lakukan itu. Seseorang bisa jadi menaruh seluruh hidupnya di syal
tersebut.”
Shankly secara
mengejutkan mengundurkan diri sebagai manajer Liverpool tahun 1974 karena ingin
mempunyai lebih banyak waktu dengan keluarga. Kota Liverpool mendadak heboh
setelah kabar pensiunnya Shankly merebak. Paling tidak sebuah pabrik mengancam
mogok kerja kecuali pahlawan mereka kembali sebagai manajer Liverpool FC.
Pengganti Shankly
di Liverpool adalah Bob Paisley, yang kelak memenangi 3 gelar Piala Champions
bersama The Reds. Tapi hari-hari pertama Paisley sebagai manajer Liverpool
sangat sulit. Banyak orang yang masih belum mampu menerima kenyataan bahwa
Shankly telah mundur sebagai manajer Liverpool. Bahkan di Melwood, orang-orang
masih memanggil Shankly dengan ”Bos”, sedang Paisley dipanggil dengan nama
depannya, ”Bob”.
Setelah Shankly
pensiun pun ia masih menjalin kedekatan dengan para suporter Liverpool. Ia akan
dengan senang hati berdiskusi tentang sepakbola dengan siapa saja di sela-sela
kegiatannya. Bahkan saat final Piala UEFA tahun 1976 di Brugge, Shankly
didatangi oleh seorang suporter yang mengaku tidak mempunyai uang untuk
menonton pertandingan. Shankly segera merangkul pundak suporter tersebut dan
membelikannya selembar tiket.
Liverpool
dirundung muram durja tanggal 29 September 1981 saat BillShankly wafat di kota
tersebut. Konferensi Partai Buruh Inggris yang digelar dekat hari itu
mengadakan sesi hening semenit untuk mengenang Shankly yang berideologi
sosialis seumur hidup.
Bahkan Sir Matt
Busby, bekas manajer Manchester United yang notabene rival bebuyutan Liverpool,
merasa sangat sedih dan menolak untuk mengangkat telepon kepada dirinya yang
ingin menanyakan komentarnya soal kematian Shankly.
Malam sesudah
Shankly meninggal dunia, Liverpool bermain kandang di ajang Piala Champions dan
sebelum kick-off sebuah spanduk raksasa dibentangkan di Kop bertuliskan,
“Shankly Lives Forever.”
Empat hari
sesudah wafatnya Shankly, saat Liverpool berhadapan dengan Swansea, manajer
Swansea, John Toshack – bekas pemain yang ditransfer Shankly ke Liverpool –
mengenakan baju Liverpool saat semenit peringatan memorial sebelum kick-off.
Sosok Shankly begitu
penting dalam tonggak sejarah Liverpool FC. Tanpanya, Liverpool FC hanyalah
sebuah klub kelas buruh dari kota pekerja yang terperosok ke divisi rendah
tanpa prestasi.
Tapi lihatlah apa
yang dilakukan Liverpool FC pada tahun peringatan 50 tahun kehadiran Shankly.
Bertengger di posisi tujuh sementara – memiliki nilai sama dengan Birmingham,
secara logis mustahil untuk meraih gelar juara liga, tersingkir dari penyisihan
grup Champions League, dan memiliki jalan mendaki yang terjal agar bisa finis
minimal di peringkat 4 agar lolos ke Champions League lagi tahun depan.
Apa yang
sekiranya akan dikatakan Shankly seandainya ia masih hidup dan menyaksikan klub
kesayangannya kepayahan seperti sekarang ini? Bekas pemain
Liverpool, Ian St John mengatakan sambil menggelengkan kepala, “Jangan tanya
apa yang akan ia katakan.”
“Saya berpikir
dengan penuh kesedihan dan timing saat kejadian ini terjadi membuat saya lebih
sedih lagi. Kami hanya menang 3 kali dari 15 pertandingan terakhir. Ini
memalukan, memalukan bagi Liverpool.
Kinerja Liverpool
yang terseok-seok ini membuat kurs i manajer Rafa Benitez menjadi terancam
kembali. Apalagi ia sudah lama tidak akur dengan para pemilik klub asal Amerika
Serikat, Tom Hicks dan George Gillet.
Tapi seandainya
Shankly masih hidup, maka ia tidak akan mempedulikan para pemilik klub, ia akan
lebih mencemaskan para suporter yang tentu merasa kecewa dengan rentetan hasil
buruk Liverpool ini.
Seperti yang
pernah dikatakan Shankly, ”Pada setiap klub sepakbola ada trinitas suci:
Pemain, manajer, dan suporter. Direktur klub tidak masuk hitungan. Mereka hanya
ada di sana untuk menandatangani cek. Hanya itu.”
sumber:
supersoccer.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar